Hukum Menikahi Wanita yang Ditinggal Pergi Oleh Suaminya - Seorang wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya itu banyak sekali faktor-faktor nya, salah satu contohnya adalah; seperti terkena bencana alam (misal; banjir, tsunami dan gempa).
Banyak sekali dari masyarakat kita khususnya para kaum perempuan yang ditinggal pergi lama sekali oleh sang suami. Sehingga, ketika ada lelaki yang datang untuk melamar ia menjadi bimbang dan gelisah. Sebab, faktanya ia masih terjalin hubungan suami istri dengan suaminya yang hanya saja sang suami tidak diketahui keberadaannya.
Hukum Menikahi Wanita Yang Ditinggal Pergi Suaminya
Sebetulnya inti pokok dari persoalan ini adalah hanya masalah waktu, yaitu sampai kapan kah si perempuan harus terus menunggu kabar dari suaminya sehingga ia boleh menikah dengan laki laki yang lain.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang seperti ini, maka kami sarankan terlebih dahulu kepada pembaca setia NU How yang budiman, agar tidak mengambil hukum sendiri, karena kita harus mengikuti pendapat para alim ulama dulu sebelum mengamalkan nya. Sebab, sudah terjadi dibeberapa kasus banyak kaum wanita yang mengalami persoalan ini kemudia ia langsung menikah. Kami hanya khawatir ia salah dalam mengambil hukum.
Studi Kasus Menikahi Perempuan Yang Ditinggalkan Pergi Oleh Suaminya
Seorang suami yang tidak diketahui keberadaannya (masih hidup atau tidak) dalam templatur ulama fiqih disebut sebagai Mafqidun (bahasa arab: مفقد) banyak faktor menjadi penyebab nya, salah satunya seperti ditimpa bencana alam.
Dalam persoalan ini terdapat 2 Pendapat.
Pendapat Yang Pertama
Waktu yang dibutuhkan oleh si wanita tersebut adalah harus menunggu dalam jangka waktu yang diyakini bahwa ia dengan suaminya dalam status suami istri sudah terputus (tertalak). Baik diyakini dengan kabar kematian suaminya atau datangnya kabar talak dari sang suami kepadanya.
Sebab, faktanya wanita tersebut dengan sang suami secara hakikatnya masih berstatus suami istri, karena asal persoalan yang diambil adalah sang suami masih hidup, sehingga tidak bisa disebut batal. Terkecuali diyakini sang suami sudah mentalaknya atau diyakini sudah tiada.
Al Imam Asy-Syafii dalam Qoul Jadiid beliau menegaskan:
قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ
Makna: (Dan apabila si suami hilang kabarnya) baik sebab ia berpergian atau selainnya (dan tidak ada kabar yang sampai kepadanya, maka si istri
tidak diperkenankan untuk menikah terlebih dahulu sampai di-yakini) maksudnya, menduga sebab adanya bukti, seperti berita luas atau menghukumi dengan kuat akan kematiannya (kematian atau talak-nya) atau semisal keduanya, contohnya seperti terjadinya murtad sebelum atau sesudah berlangsung nya persetubuhan dengan memenuhi syaratnya murtad, (jika diyakini sudah mati) kemudian si wanita boleh menjalani iddah [sebab meyakini suami sudah mati yang hilang tanpa adanya kabar]. Karena sesungguhnya persoalan pertama nya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin sehingga hal ini tidak bisa hilang terkecuali dengan adanya kabar yang yakin pula atau yang dihubungkan dengannya.[1]
- Pengertian: Si istri boleh menikah lagi jika si suami hilang kabarnya dengan syarat, menemukan atau mencari bukti yang kuat tentang keberadaan suaminya (masih hidup kah ? Atau tidak). Sebab, statusnya tetaplah memiliki suami karena asal hukumnya adalah si suami masih hidup dan kemudian menghilang.
Yang perlu anda jaga adalah berita talak dan matinya saja. Jika bukti yang anda kumpulkan kebanyakan yang menyatakan mati dan andapun meyakininya, maka silahkan jalankan Iddah anda dan setelah itu boleh menikah kembali.
Pendapat Yang Kedua
Pendapat yang kedua kali ini menyatakan bahwa si wanita harus menunggu selama 4 tahun lamanya kemudian menjalan masa Iddah selama 4 bulan 10 hari.
Masa 4 tahun ini merupakan standar batas maksimum kehamilan.
Lihat redaksi berikut ini:
(وَفِي الْقَدِيمِ تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ) قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ وَالْأَصَحُّ مِنْ حِينِ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ) بَعْدَهَا اتِّبَاعًا لِقَضَاءِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِذَلِكَ وَاعْتُبِرَتْ الْأَرْبَعُ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ.
Makna: (Dijelaskan dalam Qoul Qadiim dirinya harus menanti 4 tahun lamanya) Dijelaskan: 4 tahun tersebut dinilai dari hilangnya kabar sang suami, sedangkan menurut pendapat yang benar (Ashah) adalah dinilai dari adanya pertimbangan dari hakim, maka tidak dihitung waktu yang sudah berlalu sebelumnya. (Setelah itu boleh dirinya melakukan iddahnya wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya, kemudian selepas itu boleh untuk menikah lagi) setelahnya. Demikianlah hal tersebut karena mengikuti ketentuan hukum dari Sayyidina Umar dalam kasus tersebut. Pemakaian Standar 4 tahun, karna fase tersebut merupakan batas maksimum waktu kehamilan.[2]
- Pengertian: Si wanita tersebut harus menunggu selama waktu 4 tahun lamanya, cara menghitung sebagaimana berikut.
Menurut Sebagian Ulama: Masa 4 tahun itu, dihitung mulai dari hilangnya kabar sang suami, contohnya: Diyakini suami sudah lama menghilang pada tahun 2004, pada tahun 2005, 2006 dan 2007 anda tidak mendapatkan kabar apapun dari suami anda. Maka anda boleh menikah lagi dengan cara menunggu 1 tahun lagi dan setelah itu menjalankan Iddah dan boleh menikah dengan laki laki lain. Sebab, semua itu sudah masuk masa 4 tahun penantian (fokus teks: قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ).
Menurut pendapat Ashah (yang bisa dijadikan pegangan) adalah anda konsultasikan masalah anda tersebut kepada hakim, ketika hakim sudah memutuskan maka anda harus menanti selama 4 tahun, sekalipun pada tahun sebelumnya anda sudah menanti selama 10 tahun, misalnya. Dan 4 tahun lamanya itu dihitung semenjak hakim memberikan keputusan.
Dan pendapat yang kedua diatas yang banyak diambil dari periwayatan dari para sahabat nabi dan juga dari kalangan para tabi'in. Al Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Menjelaskan:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ
Makna: Dari Said ibnul Musay-yab, sesungguhnya sayyidina Umar dan sayyidina Utsman pernah memutuskan hukum demikian. Dengan jalur yang sahih, Said bin Manshur meriwayatkan dari Ibn Umar dan Ibnu Abbas, keduanya mengatakan: "Istri mafqud harus menunggu empat tahun". Riwayat ini ada pula yang berasal dari Utsman dan Ibnu Masud, dan dari sekelompok tabi'in semisal Al Imam An Nakhai, Atha, Az Zuhri, Mahkul, dan As-Syabi.[3]
Akhir: Anda boleh mengambil salah satu dari 2 Pendapat diatas, dan pastikan anda mengamalkan nya sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan diatas barusan. Semoga kita semua mendapatkan kebaikan dan kebajikan.
Oleh: M. Rofiannur Al Hamaamuh, SN, DH
Referensi
- Kitab: Tuhfatul Muhtaj, Juz: 10, Halaman: 456
- Kitab: Tuhfatul Muhtaj, Juz: 10, Halaman: 457
- Kitab: Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Juz: 9 halaman 538
