n3ZqunYfiQZRvj2KcPYxNgIGWaFaFe3cuIvzGd9W

Jangan Berguru Kepada Orang yang Tidak Mengamalkan Ilmunya

Jangan Berguru Kepada Orang yang Tidak Mengamalkan Ilmunya - sebagai orang yang bodoh akan ilmu pengetahuan agama Islam, maka sudah selayaknya kita berguru kepada kiyai, Nyai, Syaikh, Ustadz dan guru agama lainnya. Baik dipondok pesantren, madrasah, universitas, dan tempat berlajar ilmu agama lainnya.

Artikel ini dibuat karena mengingat kejadian pada bulan kemaren, yaitu: pada sebuah kasus seorang ustadz yang menghamili 13 santriwatinya. Maka, kami akan jelaskan dengan ilmu pengetahuan yang kami miliki dengan referensi kitab yang jelas, tepat dan akurat inshaa Allah. Karena, kami tidak ingin pelecehan yang seperti ini terjadi kembali. Baik dalam perguruan manapun.

Supaya kita sebagai orang tua dan khususnya yang menjadi murid bisa tahu. Mana guru yang layak untuk kita ambil ilmunya dan keberkahannya dan mana yang harus kita tinggalkan.

Jangan Berguru Kepada Orang yang Tidak Mengamalkan Ilmunya


Jangan Berguru Kepada Orang yang Tidak Mengamalkan Ilmunya

Secara umum sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama ialah guru merupakan seseorang yang bergelut dalam bidang pendidikan. Baik ilmu dunia atau agama.

Guru adalah panutan bagi semua orang terlebih kepada murid muridnya.

Al Imam Abi Muhammad Makki Bin Abi Thalib Al Qaysi berkata:

والرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره

Makna: Dan Rabbani (guru) adalah seseorang yang mengajarkan/mendidik manusia mulai dengan memberikan ilmu dasar sebelum dengan yang lebih besar.[1]
  • Namun, yang perlu kita sadari dan fahami adalah tidak semua orang yang bergelar guru, ustadzah, ustadz, dan sebagainya bisa dijadikan guru atau panutan dalam hidup kita. Kita harus mengambil ilmu dari orang orang yang alim serta yang mengamalkan ilmunya.
Al Imam Abi Muhammad Makki Bin Abi Thalib Al Qaysi melanjutkan:

الرباني العالم بدين الرب الذي يعمل بعلمه، لأنه اذا لم يعمل بعلمه فليس بعالم

Makna: Rabbani yang alim dalam agama adalah seseorang yang mengamalkan dengan ilmunya. Sesungguhnya apabila ia tidak mengamalkan ilmunya. Maka dia bukanlah yang disebut dengan Alim.[2]
  • Pengertian: seseorang yang betul betul bisa kita ambil ilmunya adalah hanya kepada orang orang yang mengamalkan ilmunya. Meskipun banyak ilmunya, banyak piagam penghargaan nya, mondok sana sini dan sebagainya. Namun, dengan semua itu tidak menunjukkan hakikat dari ilmu itu sendiri. Seperti: dia melecehkan muridnya sendiri, gemar melakukan maksiat dan sebagainya.
Sebab pada hakikatnya, seseorang yang alim itu. Bisa membedakan halal haram.

Abu Ubaidah berkata:

أبو عبيدة : العالم بالحلال والحرام والامر والنهي

Makna: Al Alim (orang yang berilmu pengetahuan) adalah yang tahu halal, haram dan melakukan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.[3]
  • Dengan kata lain: jika ada seseorang yang berpredikat sebagai guru. Namun, ia tidak mengamalkan ilmu yang dia miliki. Maka wajib bagi kita untuk menjauhi orang orang seperti ini.
  • Sebab, jika kita memaksakan diri untuk bertahan dalam pendidikan seperti itu. Maka yang ada hanyalah sebuah sia sia, banyaknya waktu yang terbuang, tiada keberkahan didalamnya dan masih banyak lagi. Jika kita berguru kepada orang yang tidak mengamalkan ilmunya.
Syaikh Muhammad Soleh Al Utsaimin berkata:

لابد من العمـل بـالعلم؛ لأن ثمرة العلـم العمل؛ لأنه إذا لم يعمل بعلمه صار من أول من تسعر بهـم النـار يـوم القيامة
وقد قيل: وعالم بعلمه لـم يعمـلـن معذب من قبل عبـاد الـوثـن فإذا لم يعمل بعلمه أورث الفشل في العلم وعدم البركة ونسيان العلم

Makna: Pasti beramal itu berdasarkan ilmu, karena sesungguhnya buahnya ilmu itu adalah beramal (mengamalkan ilmu yang dimiliki) juga sesungguhnya ketika seseorang tidak mengamalkan dengan Ilmunya. Maka ia menjadi orang pertama yang menyalakan api neraka pada hari kiamat. Dan sungguh telah dikatakan: orang alim yang tidak mengamalkan dengan ilmunya - akan disiksa lebih dulu sebelum para penyembah berhala. Maka, apabila ia tidak mengamalkan ilmunya maka akan melahirkan lemah dalam menuntut ilmu, tiadanya keberkahan dan akan mudah lupa pada ilmu.[4]
  • Pengertian: jika kita berguru kepada orang tidak mengamalkan ilmunya. Contohnya seperti: pelecehan seksual yang dia pernah lakukan. Maka yang akan terjadi pada diri kita adalah bukannya mendapatkan ilmu pengetahuan dan keberkahan yang ada hanyalah menjadi budak nafsu seseorang.
Maka, dari itulah Allah Subhaanahu wa ta'alaa mensifatkan manusia yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkan ilmunya. Allah samakan mereka dengan hewan. Yaitu: hewan keledai.

Syaikh Sa'id Bin Masfar Bin Mafrah Al Qahthaani berkata:

ويؤكد على التشبيه السيء للعالم الذي لا يعمل بعلمه بقوله : مثل الله العالم الذي لا يعمل بعلمه بالحمار

Makna: Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menguatkan perumpamaan keburukan bagi orang yang alim namun tidak mengamalkan dengan ilmunya dengan mengatakan: Allah menyamakan orang yang alim yang tidak mengamalkan ilmunya sama seperti keledai.[5]
  • Pengertian: manusia yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya, buta hati dan pikiran jiwanya sehingga tidak bisa membedakan halal, haram, haq, batil, benar dan salah. Maka tiada beda dengan hewan. Yaitu: sama seperti hewan keledai.
  • Karena, hakikat guru itu adalah membimbing, menuntun, pengarah kepada murid muridnya ke jalan yang benar. Bukan malah mengajarkan atau mengajak kepada sesuatu yang dilarang didalam agama Islam.
  • Maka, pelecahan yang terjadi, yang dialami oleh santriwati kepada siapapun ia berguru. Maka gurunya ini dikategorikan sebagai munafik yang alim.
Sayyidina Umar bin Khattab berkata:

روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال: إياكم والمنافق العالم، قالوا: وكيف يكون المنافق عليماً؟ قال: يتكلم بالحق، ويعمل بالمنكر.

Makna: Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu Anhu, sesungguhnya ia berkata: Takutlah kalian kepada Al Munafiqul-Aalim (orang munafik yang alim). Maka sahabat berkata: Bagaimana bisa orang munafik itu alim. Maka beliau berkata: Dia berbicara kepada yang benar (Haq) namun amalannya Mungkar.[6]
  • Pengertian: seseorang yang berbicara kebenaran. Baik dimimbar mimbar, panggung dakwah, kelas dan sebagainya. Namun, ternyata tindakannya tidak sama seperti apa yang ia ucapkan. Maka, itulah guru munafik yang alim.
Karena, tindakan nya ini termasuk tindakan yang Shuu' (jelek) kemungkinan bisa dikatakan sebagai ulama/guru yang Shuu'.

Hal ini terjadi, akibat kebodohan dia bukan sebab kealiman dia dalam ilmu.

Dalam kitab Tafsir Al Khazin dijelaskan:

لأن السوء لفظ جامع لكل فعل قبيح فيدخل تحته الكفر وسائر المعاصي وكل ما لا ينبغي وكل من عمل السوء فإنما يفعله بالجهالة، لأن العاقل لا يرضى بفعل القبيح فمن صدر عنه فعل قبيح من كفر أو معصية، فإنما يصدر عنه بسبب جهله

Makna: Sesungguhnya Lafadz Shuu' itu merupakan jamak dari setiap pekerjaan yang kotor/tercela maka ia dikategorikan dibawah kekafiran, sebagainya perkara maksiat, dan segala sesuatu yang tidak pantas (dilakukan). Dan setiap orang yang melakukan keburukan (سوء) maka mesti ia melakukannya sebab kebodohan. Karena sesungguhnya akal tidak pernah suka dengan tindakan buruk. Maka barang siapa terjadi mengerjakan keburukan baik dari kekafiran atau melakukan maksiat. Maka pasti hal itu terjadi sebab kebodohannya.[7]
  • Pengertian: orang yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya sebenarnya mereka adalah orang-orang yang tidak berilmu alias bodoh. Sebab kebodohan merupakan akar dari melakukan kejelekan dan keburukan. Dengan demikian maka terbongkarlah kedok mereka yang sok jadi guru.
Maka, peringatkan anak anak kita, teman teman kita dan siapapun agar tidak mengambil dan belajar kepadanya. Jelaskan kepada mereka keburukan mereka dan aib mereka.

Imam Ibnu Rajab Al Hanbali berkata:

ومن تشبه بالعلماء وليس منهم فيجوز بيان جهلهم وإظهار عيوبهم تحذيراً من الاقتداء بهم

Makna: Dan orang-orang berkedok ulama padahal bukan, maka boleh menjelaskan kebodohan mereka dan menampakkan jati diri mereka sebagai peringatan agar (umat tidak) mengikuti mereka.[8]
  • Pengertian: Menyebutkan keburukan ulama atau guru agama yang Shuu' hukumnya boleh. Sebagai peringatan agar ummat tidak ada yang tertipu lagi dengan kedok kedok mereka, akal akalan mereka, cuci otak mereka, dan nafsu mereka.
Imam Hatim Al Handhali Ar Razi berkata:

قال : وسمعتُ حاتماً يقول : العلماء ثلاثة: عالم يعمل بعلمه, وعالم لا يعمل بعلمه, ومتعبد قد أقبـل عـلى عبادته، وترك الناس، وليس له علم هذين. فإذا أردت أن تسأل، فاسأل العالم الذي يعمل بعلمه، فإن فاتك فاسأل العابد، فإن فاتك هذين، فتعال إلى العالم الذي لا يعمل [٩/1] بعلمه، فتبين منه أمرك، ثم فر منه، ولا تقتدي/ بعمله

Makna: Aku mendengar Imam Hatim berkata: Ulama ada tiga macam: 1. Alim mengamalkan ilmunya, 2. Alim tidak mengamalkan ilmunya, 3. Orang yang selalu beribadah dan diterima ibadahnya, menjauhi manusia tapi tidaklah berilmu seperti yang dua ini. Apabila engkau ingin bertanya. Maka bertanyalah kepada orang alim yang mengamalkan ilmunya, jika tidak kau jumpai, maka bertanyalah kepada  orang yang ahli ibadah. Jika kau tidak menjumpai dua orang ini. Maka, bergegaslah menjumpai orang yang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, jelaskan padanya urusanmu, kemudian cepatlah pergi, dan jangan kau ikuti amalannya.[9]
  • Pengertian: saking bahayanya orang yang alim namun tidak mengamalkan Ilmunya ini. Ulama sampai sampai menyuruh kita untuk cepat cepat pergi dari mereka.
Kesimpulannya adalah kita tidak boleh berguru kepada orang orang yang tidak mengamalkan ilmunya.

Dikarenakan:
  • Tidak ada keberkahan ilmu padanya.
  • Mudah sekali hilangnya kesemangatan dalam menuntut ilmu.
  • Menyebabkan mudah lupa kepada ilmu.
  • Hilangnya hakikat ilmu yang sebenarnya.
  • Tidak termasuk orang yang berilmu.
  • Tiada bedanya dengan iblis.
  • Dia disamakan oleh Allah dengan hewan keledai.
  • Tergolong ulama yang buruk.
  • Terkategori munafik yang alim. Dan masih banyak lagi dampaknya.
Yuk, mari sampaikan tulisan ini kepada teman teman kita agar mereka bisa berhati hati.

Semoga bermanfaat :)

Oleh: M. Rofiannur Al Hamaamuh, SN, DH
Referensi
  1. Al Umdah Fii Garibil Qur'an, Halaman: 100
  2. Al Umdah Fii Garibil Qur'an, Halaman: 100
  3. Al Umdah Fii Garibil Qur'an, Halaman: 100
  4. Majmu' Fatawa War-rasail, Halaman: 104
  5. Syaikh Abdul Qadir Al Jailani Wa Ara-uhu Al 'itiqadiyah Wassufiyah, Halaman: 520
  6. Dirasah Naqdiyah, Halaman: 895
  7. Tafsir Al Khazin, Juz: 7, Halaman: 59
  8. Al-Farqu Bainan-Nashiihah wat-Ta’yir, Halaman: 4
  9. Kitabuz-Zuhdi, Halaman: 153 - 154
Related Posts
NU HOW
Mari Berbagi Kebaikan :)

Related Posts